Pelantikan

Pelantikan
Serah Terima Jabatan Ketua Umum HMI Cabang Pandeglang

Senin, 26 April 2010

analisa kasus century

“ APA KABAR CENTURY ”
Sebaiknya masyarakat tidak berharap terlampau besar terhadap panitia khusus (pansus) di DPR dalam penyelesaian kasus Bank Century. Sebab, ada indikasi kasus ini akan berakhir tidak seperti harapan publik. “Nanti akan ada kesimpulan yang bersifat kompromi. Artinya, kesimpulannya kabur antara iya dan tidak, antara salah dan benar, menggantung,” ujar pengamat politik UI Arbi Sanit kepada Indonesia Monitor, Rabu, (21/1).
Kasus Century yang sedang diproses oleh KPK, tidak akan menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. “Kalau KPK bisa memiliki data-data konkret ada penerimaan uang ke tim kampanye Partai Demokrat, itu mungkin, bisa berakibat pemakzulan, tetapi itu pun tergantung voting di DPR. Kuncinya itu,” tegasnya.
Tidak kuatnya desakan masyarakat terhadap kasus ini.“Kekuatan mahasiswa tidak akan menang kalau tidak didukung kekuatan rakyat biasa. Sekarang, hanya mahasiswa saja yang ada. Tidak akan menang usaha mahasiswa, jika tanpa bantuan masyarakat biasa,”.
Makanya, sampai saat ini belum ada sesuatu yang mengkhawatirkan bagi SBY atas apa yang terjadi dalam kasus Century. “SBY belum terpojok, karena dia masih bisa memanfaatkan anggota koalisi. Nanti, DPR membuat keputusan, apa yang akan diputuskan, ujung-ujungnya voting,” tegasnya.
Jika koalisi solid, SBY masih memiliki posisi yang kuat. Apalagi kalau dilihat dari sikap anggota DPR. “Namun, ia bisa tidak selamat jika koalisi bubar. Dan hanya itu satu-satunya cara yang bisa membuat SBY tidak selamat. Kalau koalisi berkhianat semua, SBY bisa jatuh,” ungkapnya.
Adanya beberapa anggota pansus yang terlihat garang, hal itu hanya hiburan belaka.“Itu baru pameran. Permainan yang sungguh-sungguh adalah nanti di pembahasan, waktu membuat kesimpulan pansus. Itu baru yang serius. Sekarang ini baru permainan dan tontonan buat rakyat. Mereka pura-pura galak saja semuanya,”.
Adanya desakan untuk mengganti Sri Mulyani dan Boediono, hal itu kemungkinannya kecil. “SBY tidak akan mengorbankan mereka, karena merekalah modal SBY untuk investasi, untuk dagangan di luar negeri, untuk kepercayaan internasional,”. “Kalau mau dikorbankan, harus dimulai dari ujung, yakni Sri Mulyani dulu baru Boediono, lalu SBY. Tapi, sistem politik sekarang masih memungkinkan dia tetap bertahan,”.
Sri Mulyani, tidak bisa dibarter dengan tokoh lain. “Barter dengan Golkar, tidak mungkin. Siapa sih dari Golkar yang bisa ganti dia?”.
Nasib Kasus Bank Century: Buruk Niat, Cermin Dibelah?
Akhir-akhir ini masalah mengenai hak Angket dari Bank Century telah lama bergulir. Ada banyak yang berharap, tak sedikit pula yang cemas. Menurut salah satu pengamat Peneliti CSIS J Kristiadi, ada tiga pertanyaan yang paling banyak dilansir menyikapi kasus Bank Century ini. Pertama, langsung mengarah pada ujungnya, hendak diarahkan kemanakah angket ini pada akhirnya?
Seolah hendak menepis prasangka, sebagian pengusul hak angket menjamin tujuan angket ini bukan untuk menjatuhkan pejabat negara. Hanya untuk sekadar mengetahui ada apa di balik sengkarut bank ini dan menjadikannya pelajaran agar tak terulang. Begitu argumentasi utama yang disampaikan para pengusul hak ini di media massa. Terbiasa membaca yang tersirat, ada yang berguman, "Ah, berarti benar memang arahnya ke situ." Maksudnya, untuk menjatuhkan pejabat. Entah siapa yang dibidik. Bisa Sri Mulyani, bisa Boediono, bisa Raden Pardede, tapi sangat mungkin pula yang dikejar itu adalah SBY.
Sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa, paranoid mungkin. Tapi, kalau mengingat awal-awal kasus ini meruyak, dugaan itu tak terlalu salah. Ketika itu, mencuat isu, Bank Century diselamatkan karena ada dana milik penyumbang SBY diparkir di bank tersebut. Munculah nama Siti Hartati Murdaya dan sebelumnya Arifin Panigoro. Yang terkuak, memang ada dana milik Boedi Sampurna senilai $ 96 juta (menurut data BPK). Juga ada dana milik sebuah BUMN senilai Rp 2 triliunan. Tidak ada dana milik Siti atau Arifin. Tapi, sepertinya sudah tak soal benar, karena dugaan sudah menjadi ‘kecurigaan bersama’.
Kedua, benarkah nasabah Century kehilangan duitnya? Antaboga Vs Century. Kasus Century jadi berbelit karena ada soal Antaboga. Yang terakhir ini adalah perusahaan sekuritas yang menjual produk berbentuk Kontrak Pengelolaan Dana. Beberapa media menyebutnya sebagai reksadana. Padahal, ada perbedaan fundamental antara keduanya (untuk pembahasan ini bisa baca di portal reksadana).
Produk investasi berupa KPD biasanya dipilih oleh nasabah yang memiliki dana besar. Mereka umumnya enggan menanamkan dananya dalam bentuk reksadana atau apalagi deposito.Maklum, keuntungan yang ditawarkan reksadana atau deposito jauh lebih tipis. Perusahaan pengelola investasi yang sudah mapan biasanya juga tidak akan berani memberikan janji yield yang terlalu besar, apalagi yang tidak masuk akal.
Karena itu, bila ada perusahaan pengelola investasi yang menawarkan kontrak pengelolaan dana dengan iming-iming imbal hasil besar, boleh jadi hal itu merupakan strategi marketing belaka agar banyak pihak tertarik dan dana yang diinvestasikan semakin besar. Padahal, nyatanya, hasil yang diperoleh belum tentu sebesar yang dijanjikan dan tak jarang malah berbuah kerugian.
Kalaupun tak tercapai atau rugi, pemilik dana sejatinya tak bisa menuntut. Seperti pernah ditulis praktisi keuangan Elvyn G Masasyya di Kompas Juli lalu, "Lihat klausul perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak. Pasti imbal hasil yang dijanjikan hanya berupa indikasi. Tidak berupa guaranteed yield atau imbal hasil pasti. Dan inilah yang sering terjadi di pasar, pemilik dana tidak bisa menuntut karena dana yang diserahkelolakan pada dasarnya hanya pengelolaannya saja, sementara risiko tetapmesti ditanggung oleh pemilik dana."
Dalam hiruk-pikuk yang terjadi, nasabah Antaboga ini melabeli dirinya sebagai nasabah Century murni. Mereka berpijakan bahwa KPD Antaboga dijamin penuh oleh Century (yang kebetulan pemilik kedua perusahaan ini sama). Padahal, kontrak KPD itu ditandatangani antara investor dengan manajer pengelola dari perusahaan investasi, dalam hal ini Antaboga. Akibatnya, kesan yang tertangkap, nasabah Century keleleran. Padahal, mereka adalah nasabah Antaboga. Hingga saat ini, tak pernah ada upaya menjernihkan persoalan, benarkah dana milik nasabah Century telah lenyap atau sebenarnya nasabah Antabogalah yang ketiban pulung karena investasinya ‘ke laut’?.
Dalam investasi berlaku rumus standar: high risk, high return. Kalau mau untung gede, mesti setiap rugi gede juga. Karena itu, kalau tuntutannya dana nasabah harus dikembalikan, menjadi pertanyaan serius, siapakah yang sedang dibela: nasabah murni Century atau nasabah Antaboga?
Mengkambinghitamkan DPR
Ketiga, frasa yang kini paling digemari: hak angket jadi batu ujian bagi DPR. Kalau tak lolos atau mandek, maka DPR-lah yang buruk. Bahkan, tudingan juga menyasar kearah ketuanya yang berasal dari Demokrat. Hak angket bisa gagal di tengah jalan kalau pengusulnya tiba-tiba balik badan tanpa permisi. Ini kelakuan lazim di waktu lampau. Dalam kasus seperti ini, siapakah yang salah, DPR sebagai institusi atau fraksi/pengusulnya yang sebenarnya begundal?.
Hak angket juga bisa berakhir antiklimaks. Sangkaan tak cukup bukti. Bisa jadi karena pengusul tak cermat dan tak sabar. Maklum, hak angket ini bakal bergigi kalau dilengkapi data audit BPK. Dan, audit ini merupakan titah DPR periode lalu.
Kalau tak sabar menunggu, siapa yang salah, DPR sebagai institusi atau pengusul/fraksi yang bersikeras agar hak angket ini secepat-cepatnya diputuskan untuk diterima? (Pertanyaannya, kenapa begitu tergesa-gesa hingga menunggu dua pekan lagi saja tak mau?).
Hak angket Century pada akhirnya hanyalah satu dari sekian soal yang harus dijawab DPR. Ada UU Politik yang perlu disusun ulang. Ada revisi UU Tipikor yang juga mesti diselesaikan. Ada fungsi pengawasan lain yang harus dijalankan. Menjatuhkan vonis hanya karena hak angket bukankah menihilkan hal-hal lain yang semestinya juga dikerjakan DPR? Seolah-olah yang lain tak penting. Ini sejenis generalisasi gegabah yang penuh muatan politis. Kasus Century memang perlu disibak. Tapi jelas tak begini lagam permainannya.
Kucuran dana talangan ke Bank Century Rp6,7 triliun telah masuk ranah politik melalui rencana anggota DPR mengajukan hak angket Century. Sedangkan perdebatan soal legal atau tidaknya pengucuran dana itu kian tak menentu. Seiring itu nuansa skandal kian terkuak secara pelan. Apa saja itu?
Lima lembar surat notulen rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tertanggal 21 November 2008 menjadi petunjuk, ada sesuatu yang tak beres dalam pengucuran dana talangan terhadap Bank Century. Indikasi awalnya, notulensi surat itu tertuliskan private & confidential. Hal yang janggal untuk urusan publik di sebuah lembaga seperti KSSK. "KSSK lembaga publik, uangnya dari LPS, dan Ketua KSSK bukan direktur atau komisaris,” cetus pengamat ekonomi Drajad H Wibowo di Jakarta, Rabu (18/11).

Dalam surat notulen yang ditandatangani Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani itu terungkap bahwa pejabat Departemen Keuangan pada dasarnya tidak setuju atas pendefinisian bahwa Bank century sebagai bank gagal yang sistemik dengan mempertanyakan tentang rencana penyelamatan Bank Century. Seperti di poin II tentang ‘Pendapat dan Saran’ nomor (1) poin (c) ‘perlu diperhatikan apakah keputusan penyelamatan Bank century dapat menimbulkan sinyal yang dapat menimbulkan moral hazard bagi bank-bank lain’.

Di poin yang sama di nomor (3) disebutkan pendapat Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang menyebutkan “Analisis risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko akademik, lebih kepada analisis dampak psikologis.”

Dari surat notulen itu juga terungkap, tidak ada pembahasan terkait ‘kesistematisan’ dalam status Bank Century. Justru yang muncul, nuansa seolah-olah Bank century harus diselamatkan. “Rapat ini tidak ada konklusi, apakah Century sistemik atau tidak. Ada missing link, di dalamnya tidak jelas apa kesimpulannya, tahu-tahu diselamatkan. Kesimpulan KSSK seperti menjadi 'kotak hitam',”

'Kotak hitam' ini, harus dibuka oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk membuka 'kotak hitam' itu, pihak-pihak yang ikut dalam rapat itu sebagaimana ditulis dalam notulen rapat seperti Gubernur BI Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Sekertaris KSSK Raden Pardede dan lainnya harus diperiksa. "Nanti akan kelihatan siapa yang memutuskan Century diselamatkan," tandas Drajad.

Terkait dengan ini pula, upaya BPK, PPATK, serta hak angket Century dapat menjadi pembuka 'kotak hitam kasus Century. “Saya kira KPK juga turun dalam bailout Bank Century. Karena definisi korupsi tidak hanya untuk memperkaya diri sendiri. Terkait administrasi juga masuk kategori korupsi,.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku, proses pengucuran dana bailout Bank Century sesuai dengan standard Operational Procedure (SOP). “Kucuran dana Century sesuai SOP, prosesnya juga direkam. Kita sangat terbuka dengan audit BPK,” cetusnya di Jakarta.

Terkuaknya notulensi rapat KSSK pada 21 November 2008 itu menjadi salah satu bukti, betapa proses pengucuran dana talangan Bank Century menyisakan misteri yang perlu diungkap. Proses politik seperti hak angket di parlemen, idealnya tak hanya menjadi alat gertak pada pihak-pihak tertentu, namun semangat pengungkapan kasus menjadi tujuan utama atas uang rakyat itu.

Lalu apa kabar century sekarang, dalam berbagai kejadian yang melanda negeri ini, mulai dari kejadian kasus gayus halomoan tambunan yang seiring terkuak sampai sekarang, berawal dari markus polri, cicak dan buaya pada waktu itu. Serta berbagai kasus-kasus lain yang lambat laun mulai terkuak sedikit demi sedikit.

Jangan dijadikan sebagai isu pengalih, kami menuntut kepada presiden SBY untuk segera mengusut tuntas kasus century ini.