Pelantikan

Pelantikan
Serah Terima Jabatan Ketua Umum HMI Cabang Pandeglang

Minggu, 02 Mei 2010

JADILAH MANIFESTASI YANG SEMPURNA

“Nabi Muhammad itu insan kamil, manifestasi sempurna Tuhan. Jika kita diharuskan menghormati dan menyayangi sesama makhluk Tuhan, maka penghinaan terhadap sosok yang satu ini artinya sikap yang sudah kelewatan.” Pernyataan tegas tersebut keluar dari mulut Astrid Darmawan, model kondang di era 85-95, yang mengaku glamornya dunia model tidak pernah memuaskan batinnya. Omongan ini terlontar saat ia diminta tanggapan tentang kartun Nabi Muhammad saw di media Denmark beberapa waktu lalu, yang menurutnya sangat menyakiti dan melukai perasaan umat Islam.
Kekosongan batin dan refleksi atas berbagai peristiwa keduniaan mengantarkannya untuk lebih mendalami agama. Berbagai pengajian dia datangi sebagai buah konkret keseriusannya. Tidak sekadar mendalami, perempuan kelahiran 39 tahun lalu itu juga mengajak dan menyemangati kalangan dekatnya untuk lebih intens mengkaji agama, terutama kajian-kajian esoterisme.

Dari Ordo Meister Eckhart
Astrid besar dalam keluarga dengan tradisi agama yang berbeda: Islam dari garis sang ayah dan Katolik dari jalur sang ibu. Pendidikan formal dia tempuh di sekolah-sekolah Katolik, sementara di rumah pendidikan agamanya adalah Islam. Mengikuti ritus umum Katolik adalah bagian dari kurikulum formalnya. Meskipun siswa non-Katolik tidak diperkenankan mengikuti oikoumene, Astrid tetap harus mengikuti misa. “Tapi saya tidak merasa dikatolikkan meskipun sungguh-sungguh berdoa di Gereja,” lanjutnya.
Sekolah Katolik tempat Astrid belajar mengikuti Ordo Asisi, yang tidak mengakui perwakilan tunggal Paus sebagai wakil dalam hubungan antara hamba dengan Tuhan. Tokoh terkenal ordo ini adalah Meister Eckhart, mistikus Nasrani yang wafat diinkuisisi karena opini dan sikapnya yang berseberangan dengan Gereja arus utama. Sebagian keyakinan ordo ini yang dinilai sesat adalah bahwa Yesus bukan Tuhan melainkan messenger semata dan perempuan boleh menjadi pemimpin lembaga keagamaan.
Tiap dua minggu sekali, biasanya beberapa pastur Belanda dari Gereja Paroki terdekat berkunjung ke rumah orangtua Astrid. Isi obrolan mereka biasa saja, tidak sedikit pun mengajak untuk konversi agama, apalagi menjelek-jelekkan agama dan keyakinan orang lain. Astrid terkesan dengan kepribadian dan kesederhanaan mereka. “Di zaman ketika orang sudah biasa memakai mobil, mereka masih naik sepeda kumbang. Itu yang membuat simpatik. Namun anehnya, saya tidak tertarik sedikit pun dengan Katolik,” ungkapnya.
Pengalamannya dengan Islam bukan sama sekali tidak ada. Tiap hari Minggu, seorang guru mengaji didatangkan khusus ke rumahnya. Tiap bulan, ada pengajian yang bergiliran dari rumah ke rumah di kompleksnya di bilangan Kemang. Selain itu, tiap shubuh, maghrib, dan isya ia selalu menunaikan salat berjamaah bersama sang ayah, Brigjen Dr. Hariadi Darmawan, aktivis 66 dan mantan ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI).

Bosan dengan Eksoterisme
Pengalaman spiritual telah dialaminya sejak kecil. Sejak dulu, dia meyakini Yesus dan Bunda Maria sebagai Muslim. Meskipun ritual di sekolah kental dengan nuansa Katolik, dia tetap menjalankan ritus-ritus Islam di rumah. “Saya sering berbicara dengan patung Yesus dan Bunda Maria, seperti kita salat menghadap kiblat,” tutur perempuan berdarah Sunda-Belanda-Jawa ini. Tidak heran, pengalaman ruhani pertamanya justru adalah mengenal Yesus dan Bunda Maria sebagai figur spiritual.
Astrid mulai mengenal Islam lebih intens saat mengikuti pengajian tiap Kamis malam. Namun, sayangnya sang ustad jarang sekali mengisahkan Rasulullah saw. “Lebih sering cerita dogma. Jarang cerita Rasul sebagai pribadi. Ini aneh. Padahal, di Katolik saya selalu mendapatkan banyak cerita tentang kebaikan Yesus dan kemuliaan Bunda Maria,” kritiknya.
Selain itu, banyak isi ceramah para ustad itu yang justru merendah-rendahkan agama lain dan menafikan kelompok lain. Sejak saat itu, dia sudah bertanya, kalaulah memang agama kebenaran, mengapakah Islam harus menghujat agama dan keyakinan yang lain? Karena bosan dengan isi ceramah yang itu-itu saja, dia tidak datang lagi ke pengajian tersebut.

Meraih Esoterisme Melalui Beshara
Dalam proses mencari guru agama yang lebih rasional, dia mendengar kabar dari sepupunya di Belanda tentang Beshara, sebuah lembaga pendidikan esoterisme. “Di Barat, Islam kurang diminati kecuali wilayah esoterisnya. Orang-orang sudah apriori dengan Islam eksoterik,” ujarnya. Selain karena pemahaman dangkal orang Islam, dia menduga ini juga disebabkan pencitraan negatif yang sistematis. Yang kuat dikaji di Beshara adalah karya-karya Ibn Arabi.
Sebelum intens di Beshara, dapat dikatakan kehidupannya kental dengan urusan duniawi. “Bayangkan, tiap hari pikiran saya hanya mencari uang, kerja di kantor, pulang ke rumah untuk makan, tidur, dan kerja lagi. Begitu terus setiap hari,” keluhnya. Rutinitas yang kesannya wah ini membuatnya sampai pada titik jenuh. “Hampa. Tidak jelas apa yang kita cari.”
Perenungan yang mendalam kemudian membuatnya memutuskan untuk lebih serius mengkaji hal-hal yang transenden. “Banyak teman yang kaget, tidak menyangka bahwa saya bisa membuang semua kehidupan seperti itu,” ungkap Astrid seraya menggambarkan respon yang dia terima dari lingkungan terdekatnya.
Di Beshara, dia mengikuti berbagai kegiatan sejak 2001 hingga 2006. “Papa, mama, om, sepupu, sudah terlebih dulu ikut Beshara.” Kajian Ibn Arabi yang diikutinya dipandu dua orang pendidik Beshara asal Skotlandia. Pertemuan ini diadakan tiap tahun, dalam bentuk retreat. “Di sana, tidak boleh ada telepon, televisi, dan sarana komunikasi dengan dunia luar. Kita benar-benar berkhalwat,” kenangnya. Kemudian dia mengutip Ibn Arabi, “Hanya yang benar-benar merindukan Allah dan tidak peduli kepada sesuatu yang lainlah orang yang akan selamat.”
Selain di Beshara, hampir pada saat yang sama Astrid juga mengikuti secara intens pelatihan meditasi di Brahma Kumaris, sebuah komunitas spiritual lintas agama. “Saya ingin memahami inner strengths and values.” Dia melihat tempat itu “Committed to spiritual growth and personal transformation, believing them essential in creating a peaceful and just world.”
Di Beshara, semua peserta mempunyai pengalaman batin masing-masing. Semua peserta merasakan Allah itu ada dan nyata. Mereka menganggap ‘hubungan intim’ dengan Pencipta kita sebagai fitrah manusia. Hidayah datang dengan sendirinya. Astrid mengutip Ibn Arabi, “Engkau tidak akan mengalami kemajuan apa pun kecuali jika perpindahanmu dari pengetahuan menuju penglihatan batin dan bentuk adalah satu.”
Di Beshara, peserta diwajibkan menjaga wudu dan tafakur selama 30 menit sebelum proses pembelajaran. “Itu adalah adab belajar yang baik, selain kerendahan hati dalam mencari ilmu. Sayangnya praktik bersuci sebelum mengkaji ini jarang saya dapatkan dari pengajian ustad-ustad Islam di Indonesia. Mereka tidak menganjurkan apalagi menyuruh kita menyucikan diri melalui wudu,” tutur ibu dua anak ini.

Mendekati Ahlulbait dari Perenialisme
Lewat berbagai pengajian dan pengkajian, dia pun melabuhkan hatinya kepada mazhab Ahlulbait as, nama lain dari mazhab Ja’fary atau Syiah 12 Imam. “Apabila kita mau sedikit berpikir terbuka, merendahkan hati, dan memasrahkan diri untuk menerima kebenaran, niscaya orang akan tahu dan menerima mazhab ini,” terangnya.
Perkenalannya dengan Ahlulbait as dimulai menjelang musim haji 2005, saat dia membaca buku-buku Ahlulbait, terutama Telaah 40 Hadis karya Imam Khomeini, Fathimah az-Zahra karya Ayatullah Ibrahim Amini, dan Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilanganku dari Imam Ali as.
Karena isi buku-buku itu membuatnya begitu tertarik, dia mulai berburu pengajian-pengajian Ahlulbait di Jakarta. Peringatan Asyura 2006 di Islamic Cultural Center (ICC) adalah hari besar Ahlulbait pertama yang dihadirinya. Sejak itu, dia intens mengikuti pengajian di Pusaka Hati dan Az-Zahra.
Awalnya, dia mempunyai kesulitan dalam memahami figur dalam Islam. “Anda bisa memaklumi posisi saya yang kuat dengan tradisi Katolik, dan saat itu saya tidak menemukan tokoh yang kuat di dalam lingkungan Islam. Dengan pengalaman saya sebelumnya pun, Nabi Muhammad saw tidak dijadikan tokoh sentral dalam kehidupan kita,” papar kakak Sarah Darmawan ini.
Jika demikian, baginya, adalah wajar apabila terjadi pemfiguran tokoh-tokoh tasawuf melalui mursyid-mursyid yang selalu bercerita tentang kemuliaan akhlak mereka. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, tiadalah yang paripurna kecuali Rasulullah saw dan keluarganya yang suci. Kehadiran keluarga Rasulullah saw selalu ada dalam tradisi mistis Islam tetapi mengapa kabar tentang mereka ‘tidak terdengar’. Mengapa ini bisa terjadi? “Ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua,” tandasnya.
Bahkan, lewat kajiannya terhadap pemikiran dan pengalaman spiritual Ibn Arabi, Astrid yakin bahwa Syekh Akbar tasawuf ini adalah penganut Syiah. Begitu pula tokoh tokoh sufi yang telah sampai kepada hakikat. Sayangnya sedikit pihak yang mengenalnya.
Selain itu, dia meyakini bahwa setiap orang suci adalah manifestasi sempurna (insan kamil). Wujudnya adalah wujud Allah. Khusus untuk Muhammad saw dan keluarganya, Allah Swt sudah menunjuk mereka sebagai pemberi syafaat. “Jadi, tidak mengakui kedudukan Rasul dan keluarganya berarti tidak menerima amanah Allah Swt. Artinya kita menentang Allah Swt,” simpulnya. Karenanya, dia dapat memahami kalau ada orang Kristen yang meyakini Yesus adalah Tuhan dalam kemutlakan relatifnya.
Karena ini pula, dia mempunyai pandangan khas tentang maulid Nabi saw. Baginya, setiap hari adalah maulid seperti halnya setiap hari adalah Asyura. Menurutnya, inilah yang dimaksud Imam Ali as dari perkataannya, “Matilah sebelum Kematian.” Inilah juga mengapa merupakan suatu keutamaan membaca Ziarah Arbain untuk Imam Husain setiap hari.
Astrid melihat Rasulullah ‘sebagai kekasih kita dan kekasih Allah’ secara bersamaan. Dia adalah sosok pengayom dalam kesunyiannya. Dan, karena itulah ia semakin mencintainya. “Makanya saya marah kalau ada perkataan atau sikap yang merendahkan Rasulullah. Kita harus marah dan emosi bila ada penghinaan terhadap Rasul dan keluarganya. Apa kita harus sabar jika junjungan kita dihina, seperti kasus karikatur di Denmark beberapa waktu lalu? Itu sabar yang sudah salah tempat. Kita memang wajib bersabar ketika berhubungan dengan masalah duniawi atau sesuatu yang profan lainnya. Tapi tidak untuk sebuah penghinaan kepada Nabi,” tegasnya.

Mendakwahkan Cinta Nabi ke Keluarga
Berkenaan dengan cara memperkenalkan Ahlulbait kepada keluarganya, Astrid mempunyai kiat tersendiri. Menurutnya, orang-orang akan menilai dirinya dari konsistensi dan keteguhan dalam mempertahankan keyakinan dan argumentasinya. Apabila mereka telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa ia benar-benar melaksanakan apa yang ia yakini, besar kemungkinan orang akan tertarik dan meminta penjelasan yang lebih jauh.
Awalnya keluarganya menolak. Mereka sulit menerima bagaimana tiga khalifah pertama diperlakukan berlawanan dengan cerita-cerita yang pernah mereka dengar. Namun, kemudian secara perlahan, dia memberi mereka buku-buku sejarah tentang Saqifah dan keluarga Nabi saw.
Saat mereka menyadari bahwa yang dia kemukakan adalah fakta, maka mereka semakin ingin belajar secara intens. “Alhamdulillah, sekarang mereka sudah semakin condong ke Ahlulbait,” syukurnya.
Ketika ditanya tentang bagaimana metode mengajarkan anak-anak agar mencintai Ahlulbait Nabi saw, Astrid menyarankan untuk menumbuhkan terlebih dahulu perasaan cinta kepada Rasulullah dan keluarganya di dalam diri sang orang tua itu sendiri, sehingga anak-anak akan melihat sendiri aktualisasi dan aura cinta orang tua mereka.
“Saya menanamkan cinta dan pentingnya kedudukan Ahlulbait as dengan sering bersalawat di depan anak-anak atau melalui kisah-kisah sebelum tidur. Saya sering katakan bahwa siapa yang mau menolong kamu jika bukan Allah, Rasulullah, dan Ahlulbaitnya? Jangan meminta pertolongan kepada siapa pun sebelum kamu memohon kepada mereka. Ini yang saya lakukan terhadap anak-anak,” paparnya.
Tiap malam menjelang tidur, Astrid memandu anak-anaknya mengucapkan selamat tidur kepada para Imam Suci, “Goodnite Rasulullah, goodnite Imam Ali, …” dan seterusnya. Begitu pula pada saat pagi hari, mereka mengucapkan, “Good morning Rasulullah,..” Internalisasi nilai pada saat antara tidur dan jaga diakuinya adalah penanaman alam bawah sadar yang efektif.
Cara tersebut diakuinya memang terpengaruh gaya pendidikan ala Katolik. Ia pun mengoptimalkan peran lukisan orang-orang suci agar kehadiran mereka terpatri dalam diri anak-anaknya, meskipun harus dijelaskan bahwa lukisan-lukisan tersebut bukanlah representasi diri mereka yang sesungguhnya.
“Saya juga biasa menganjurkan anak-anak agar tidak beribadah untuk diri sendiri. Saya meminta mereka untuk mempersembahkan ibadah tersebut kepada Rasulullah saw dan keluarganya. Saya sering katakan, bahwa kita hanya akan selamat apabila mengikuti mereka,” lanjutnya.
Selain itu, perempuan lulusan pascasarjana Universitas Indonesia ini juga terbiasa mengawali dakwah Ahlulbaitnya dengan kisah Nabi Musa as yang tidak berbeda dengan Nabi Muhammad saw. Apa yang terjadi pada Nabi Musa juga terjadi pada Nabi Muhammad. Nabi Musa mempunyai saudara dan pengikut setianya, yakni Nabi Harun as. Muhammad saw juga mempunyai Imam Ali, saudara dan pengikut setia beliau. Dalam hadis dikatakan, bahwa posisi Ali di sisi Muhammad sama seperti Harun di sisi Musa. Pengantar seperti itu, baginya, amat perlu terutama bagi mereka yang non-Muslim atau lebih akrab dengan tradisi-tradisi di luar Islam.
Kepada saudara-saudaranya yang Kristen, dia terlebih dahulu mengungkapkan latar belakang, bahwa umat Muhammad saw amat mencintai Bunda Maria dan Yesus. Dalam al-Quran, bahkan terdapat satu surah khusus yang dipersembahkan untuk mengabarkan kemuliaan Bunda Maria. Kedudukan Sang Perawan suci itu demikian terhormat sehingga menjadi salah seorang dari empat perempuan utama penghuni surga.
Dia melihat banyak orang Kristen yang tidak mengetahui bahwa Bunda Maria begitu disucikan oleh ‘Tuhannya Islam’. Selanjutnya, dia mulai menerangkan keutamaan keluarga Imran. Bahkan, nama keluarga ini juga diabadikan dalam satu surah al-Quran. “Dari kesamaan-kesamaan seperti itulah, kita bisa mengenalkan Islam kepada mereka tanpa konflik. Saya lebih mudah diterima mungkin karena latar pendidikan saya yang juga Katolik. Apa yang mereka lakukan juga saya lakukan semenjak kecil,” kisahnya.
Sementara itu, upaya mewartakan Ahlulbait ke internal umat Islam, bagi Astrid, harus dilakukan dengan cinta. Menurutnya, ketidakharmonisan antar-Muslim lebih banyak karena cara penyampaian yang tidak dengan landasan cinta dan kasih, melainkan atas dasar dogma yang hitam-putih, sehingga malah menggurui dan menafikan orang lain.
“Perilaku kita adalah manifestasi dari kondisi kalbu kita, yang juga manifestasi dari ilmu kita. Kadang kita tidak kuat atau bereaksi negatif ketika melihat suatu perilaku yang tidak sesuai dengan konsep kebenaran yang kita yakini.” Menurutnya, itu sebenarnya bukan salah orang itu, melainkan karena ketidakbersihan hati kita sendiri. Sebab, sebenarnya sikap-sikap itu adalah manifestasi-manifestasi-Nya juga.
“Sebaiknya, kita mulai menilai diri kita sendiri,” tutur Astrid seraya mengutip perkataan sufistik, “Kalau sampai pada suatu pengertian, maka lepaskanlah pengertian itu. Berjalanlah terus.” Menurutnya, manusia seringkali menjadikan ilmu sebagai tujuan, bukan alat menuju hakikat. “Imam Khomeini sudah mewanti-wanti bahwa ilmu adalah hijab terbesar seorang pejalan ruhani,” simpulnya mengakhiri pembicaraan.[andito]

HMI Cabang Pandeglang: HMI DAN TRANSISI KEPEMIMPINAN

HMI Cabang Pandeglang: HMI DAN TRANSISI KEPEMIMPINAN

HMI DAN TRANSISI KEPEMIMPINAN

DALAM sejarah Indonesia, peralihan kepemimpinan nasional baru dialami sekali, yaitu dari kepemimpinan Bung Karno ke Pak Harto. Proses itu terjadi pada dasawarsa 1960-an dan secara tuntas terjadi pada tahun 1967, ketika MPRS menetapkan Pak Harto sebagai Pejabat Presiden. Pada waktu itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi mahasiswa, telah pula ikut dalam proses peralihan kepemimpinan nasional tersebut. Meski mungkin peranan itu dianggap kecil, namun pengalaman itu barangkali perlu kita kenang kembali. Manfaatnya banyak, tidak saja bagi HMI, tetapi mungkin juga bagi seluruh bangsa Indonesia, yang suatu saat juga akan menghadapi peralihan kepemimpinan nasional yang kedua. Bagaimana proses itu berjalan, agar tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kepentingan nasional kita sebagai
satu bangsa? Dualisme kepemimpinan nasional Pada masa itu Presiden Soekarno telah memperoleh mandat sebagai Presiden Seumur Hidup dari MPRS. Beliau juga memperoleh predikat Pemimpin Besar Revolusi dan sebagai Presiden juga menjadi Panglima Tertinggi ABRI. Baik secara konstitusional maupun realita politik, kekuasaan Presiden Soekarno sangat besar. Beberapa organisasi kemasyarakatan, bahkan sempat memberikan predikat tambahan, dengan
menggunakan istilah "Agung". Meskipun demikian, pergulatan politik tidak berhenti. Agaknya semua kekuatan politik masih bermain sendiri-sendiri sesuai dengan tujuan politiknya. Mereka masih sangat memperhitungkan fakta Bung Karno sebagai penentu perjalanan politik bangsa. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu kekuatan politik yang pandai memanfaatkan
keadaan saat itu. Dengan manuver-manuver politiknya, PKI berhasil menguasai dan mengarahkan situasi sejalan dengan tujuan politiknya.
Secara nasional, konsep Nasakom (Nasionalisme - Agama - Komunis), menjadi platform resmi yang menetapkan struktur politik. Representasi politik harus selalu memperhatikan unsur Nasakom, termasuk pada pimpinan Front Nasional dan pimpinan lembaga Legistatif. Di luar
lembaga Eksekutif (Kabinet), praktis konsep Nasakom telah berjalan. Sedangkan di lembaga eksekutif, meskipun telah ada beberapa menteri dari PKI, namun posisi-posisi penting belum berhasil direbut oleh PKI. Namun dengan platform resmi Nasakom itu PKI memperoleh peluang
berkembang di seluruh Indonesia, sungguhpun di berbagai daerah, misalnya di Aceh, potensi kaum Komunis sangat kecil. Sesungguhnya secara konsepsional maupun politis, PKI juga menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan manuver-manuvernya. Di kalangan militer, khususnya di lingkungan Angkatan Darat (AD), konsep Nasakom lebih sering disuarakan sebagai Nasasos (Nasionalis - Agama - Sosialis). Secara sadar kaum militer sendiri, sejak akhir dasawarsa 50-an, juga telah melakukan upaya untuk mengimbangi kaum Komunis. Dibentuklah berbagai Badan Kerja Sama (BKS) antara kaum militer dan organisasi nonpolitik, seperti misalnya BKS Pemuda-Militer, BKS Buruh-Militer dan lain-lainnya. Pembentukan BKS-BKS itu sedikit banyak merupakan manifestasi kekhawatiran kaum militer pada kecenderungan
politik yang terjadi.
Para tokoh militer secara langsung juga telah menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai peranan kaum Komunis pada Bung Karno. Waktu menjadi Panglima Kodam Diponegoro, Pak Harto, misalnya pernah menyampaikan kekhawatiran itu pada Bung Karno. Demikian juga gagasan pembentukan Angkatan Kelima - sebuah Angkatan (militer) yang terdiri
dari para sukarelawan/ organisasi kemasyarakatan - sampai saatnya PKI dibubarkan, gagal dilaksanakan. Demikian juga tuntutan PKI terhadap pembubaran HMI, ternyata juga tidak berhasil. Pada tanggal 29 September 1965, satu hari sebelum G30S/PKI, di forum Kongres CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, organisasi mahasiswa di bawah PKI), Ketua CC PKI DN Aidit mendesak Bung Karno untuk membubarkan HMI. Tetapi, baik Wakil Perdana
Menteri Leimena maupun Bung Karno tidak bergeming menghadapi tuntutan DN Aidit dan CGMI. Bung Karno, bahkan mengatakan, bahwa CGMI pun akan dibubarkan, seandainya CGMI juga kontrarevolusi.
Suasana politik seperti itu, sesungguhnya menunjukkan bahwa PKI belum sepenuhnya menguasai isu politik. Dan sebaliknya, Bung Karno-lah yang masih memegang kendali politik dan bahkan satu-satunya. Tentu, Bung Karno juga mempermainkan kartu-kartu, bagaimana semua kekuatan politik yang ada dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik dan kepemimpinannya, sungguhpun oleh banyak kalangan dianggap sebagai permainan politik yang berbahaya. Dan ternyata, ketika G30S/PKI meletus, kekhawatiran itu mulai bersemi menjadi suatu kenyataan yang memang benar adanya. Adanya "Dualisme" kepemimpinan nasional, ternyata menjadi cikal bakal transisi kepemimpinan nasional. Dan dualisme itu terjadi semenjak
meletusnya G30S/PKI. Opini nasional terbelah menjadi dua kutub, antara tuntutan pembubaran PKI, sebagai kekuatan di belakang kudeta yang gagal itu, dengan kutub yang belum bersedia membubarkan PKI. Majoritas rakyat, ternyata berada di belakang tuntutan pembubaran PKI, sementara Bung Karno berada pada posisi untuk memenuhi tuntutan rakyat atau
tidak. Pak Harto, selaku tokoh senior AD, di mana 7 putra terbaik AD menjadi korban G30S/PKI, dapat dipastikan berdiri pada tuntutan rakyat untuk membubarkan PKI, yang dengan alasan apa pun secara ideologis tidak mungkin menjadi kekuatan pendukung Pancasila. Sementara itu strategi pasca G30S/PKI Orde Baru- adalah kembali pada UUD 45/
Pancasila secara murni dan konsekuen.
Polarisasi opini politik di tingkat nasional itu, pada akhirnya mengarah pada tokoh yang berdiri pada opini yang bersangkutan. Secara cepat, Bung Karno menjadi sasaran tuntutan pembubaran PKI dan karena Bung Karno tetap bertahan pada sikapnya sendiri, yang masih tetap mempertahankan eksistensi PKI, maka (pada akhirnya) hampir seluruh kebijaksanaan Bung Karno menjadi sasaran kritik. Misalnya, sindiran Kabinet 100 menteri, predikat Durno bagi Waperdam Soebandrio, dan juga pembantu-pembantu presiden lainnya. Meskipun masih menggunakan sasaran antara, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa sesungguhnya sudah mulai
mengarah pada sasaran pada Bung Karno sendiri.
Peranan HMI
Peranan HMI dapat dikatakan sangat besar (atau terbesar?) dalam demonstrasi mahasiswa yang terjadi pasca-G30S/PKI. Hal ini disebabkan, karena HMI memegang seluruh pimpinan Dewan Mahasiswa di hampir seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Semua itu, sebagai akibat titik balik G30S/PKI, di mana HMI menjadi sasaran politik CGMI/PKI.
Pada bulan Desember 1965 di Pasarminggu (Jakarta Selatan), PB HMI menyelenggarakan sidang Pleno, yang dihadiri oleh anggota pleno PB HMI dan juga oleh Ketua-ketua Badan Koordinasi HMI dari seluruh Indonesia. Salah satu materi yang dibicarakan adalah suasana politik saat itu.
Meski HMI adalah organisasi mahasiswa yang tidak terjun dalam politik praktis, namun suasana politik waktu itu memang tidak memungkinkan ia melepaskan diri dari masalah politik. Tekanan yang diutamakan adalah bagaimana mempertahankan peranan politik HMI dalam mengupayakan tata nilai dan aspek kebijaksanaan politik tanpa memasuki lembaga-lembaga formal politik. Esensi sebagai kekuatan moral, masih merupakan pegangan yang utama.
Sebagai pendukung tuntutan pembubaran PKI, HMI tentu kecewa terhadap kebijaksanaan Bung Karno yang belum bersedia membubarkan PKI. Sementara gerakan itu tidak mungkin mundur, akankah "sasaran tembak" sudah saatnya diarahkan ke Bung Karno? PB HMI, alhamdulillah, mampu membicarakan masalah yang sangat pelik dan mungkin berbahaya itu dengan terbuka dan intens. Langkah positif dan negatif itu dipertimbangkan secara mendalam, tidak saja bagi kepentingan HMI, tetapi juga bagi kepentingan nasional di saat itu. Ada kesadaran bahwa keputusan apa pun yang akan diambil HMI (saat itu) akan berdampak
besar. Dan rapat pleno akhirnya mengambil keputusan, bahwa sasaran tembak HMI masih belum pada Bung Karno.
Sementara itu, dapat dipahami, kalau tuntutan terhadap pembubaran PKI semakin gencar dan bahkan meluas. Tritura (tri tuntutan rakyat), yaitu "Bubarkan PKI, Turunkan Harga, dan Bubarkan Kabinet 100 Menteri", yang lahir pada bulan Januari 1966, pada dasarnya sudah merupakan isyarat ketidakpercayaan rakyat pada kebijakan Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris/Presiden RI Bung Karno. Pada akhirnya Bung Karno memang bersedia "mundur" dengan mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang terkenal itu. Dan Pak Harto kemudian membubarkan PKI serta Kabinet 100 Menteri.
Pada bulan Juni - Juli 1966, MPRS menyelenggarakan sidang. Jenderal Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS yang baru. Dan di sinilah, untuk pertama kali, kebijaksanaan Presiden/ PBR Bung Karno dipersoalkan di lembaga konstitusional itu. Adalah Raden Panji Suroso, anggota tertua MPRS, yang dalam tanggapannya terhadap pertanggungjawaban Presiden menyatakan ketidakpuasannya. Keputusan-keputusan yang kemudian diambil, ternyata merupakan koreksi terhadap perjalanan bangsa selama ini, antara lain pencabutan gelar Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup, meskipun masih disertai permintaan maaf (TAP No
XVIII/MPRS/1966). Namun sidang MPRS itu belum berhasil mengambil keputusan untuk memilih Presiden baru, sungguhpun sudah mengeluarkan TAP No XIII/ MPRS/1966 yang menugasi pemegang SP 11 Maret untuk bersama-sama Presiden membentuk Kabinet baru. Adapun SP 11 Maret itu sediri, oleh MPRS telah dikukuhkan dengan TAP IX/MPRS/1966.
Tanpa diduga, PB HMI menerima undangan untuk "hearing" kabinet, yang diselenggarakan di Mabes AD pada 14 Juli 1966. Sudah tentu PB HMI segera menyelenggarakan rapat khusus untuk menentukan apa yang akan diusulkan oleh HMI dalam hearing kabinet itu. Salah satu pertimbangan yang sangat penting, yang memperoleh pembahasan yang mendalam adalah kenyataan adanya dualisme kepemimpinan nasional, sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan dualisme berarti adanya kenyataan tidak satunya kebijaksanaan di tingkat kepemimpinan nasional yang ternyata masih saja terjadi, sungguhpun PKI telah dibubarkan. Dapatkah pembentukan kabinet baru secara tuntas akan mengakhiri dualisme itu? Bagaimana caranya?
Berbagai alternatif menjadi pilihannya. Mungkinkah Pak Harto langsung menggantikan Bung Karno selaku Presiden RI? Apabila demikian, kenapa MPRS tidak mengambil keputusan seperti itu? Apa dampaknya? Sementara secara konstitusional, pembentukan kabinet itu dilaksanakan bersama-sama antara pemegang SP 11 Maret dengan Presiden RI (Bung Karno?)
Pengurus Besar HMI kemudian mengambil keputusan dengan formula yang unik, yang mungkin kompromistis, tanpa mengurangi esensi menghilangkan adanya dualism kepemimpinan nasional, di samping konstitusional dan mungkin juga Indonesiawi (?). Usulan PB HMI adalah agar Jenderal Soeharto bersedia memimpin Kabinet tanpa mempersoalkan keberadaan Presiden Soekarno. Bentuknya terserah pada pemegang SP 11 Maret selaku formatur kabinet. Usulan itulah yang kemudian dibawa pada hearing Kabinet tersebut.
Demikianlah, ketika bersama Sdr Mar'ie Muhammad dan Sdr Yusuf Syakir kami menyampaikan usulan tersebut pada Pak Harto selaku formatur kabinet, seingat saya, beliau tidak banyak memberi komentar, selain terima kasih dengan senyum beliau yang khas. Tetapi, keesokan harinya, saya terkejut, ketika materi hearing kabinet itu menjadi berita utama koran Berita Yudha, yang dikenal sebagai korannya Angkatan Darat. Dan PB HMI bersyukur, bahwa setelah kabinet diumumkan, kabinet itu dipimpin oleh sebuah Presidium Kabinet, dengan Pak Harto sebagai Ketua Presidium Kabinet dan Mas Sanusi, sebagai seorang alumni HMI yang kami usulkan pada urutan pertama untuk memperoleh pertimbangan duduk di Kabinet, memperoleh kepercayaan sebagai Menteri Perindustrian Tekstil. Sejak itu, kepemimpinan nasional sesungguhnya sudah bergeser ke Pak Harto, sampai pada saatnya tuntas pada sidang umum istimewa MPRS awal 1967, ketika Pak Harto diangkat sebagai Pejabat Presiden.
Kesimpulan
Peralihan atau pergantian kepemimpinan nasional sesungguhnya adalah suatu peristiwa yang biasa. Semestinya, meskipun peristiwa itu tetap penting bagi suatu bangsa, pada suatu saat harus dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Isu politik yang akan menyertai peristiwa itu tidak boleh terasa sebagai sesuatu yang menegangkan, sehingga menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan. Apalagi dapat menimbulkan huru-hara ataupun perpecahan bangsa.
Pergantian kepemimpinan nasional di tahun 1960-an, betapapun berjalan alot dan menegangkan, telah berlangsung dengan aman. Sebabnya, karena strategi konstitusional yang dianut Orde Baru.
HMI, sebagai organisasi mahasiswa, sudah tentu penuh dengan dinamika dan idealisme anak muda. Dinamika dan idealisme itu, secara alami akan selalu mendorong adanya suatu perubahan ke arah hal-hal yang lebih baik. Namun, cepatnya perubahan yang dikehendaki oleh anak-anak muda, sering tidak sejalan dengan proses politik yang harus dilalui. Pada keadaan seperti ini, tidak mustahil akan terjadi benturan fisik yang sering meminta korban. Besar kecilnya korban, sudah tentu tergantung dari kepiawaian manajemen konflik yang dimiliki para pelakunya.
Peralihan kepemimpinan nasional di tahun 1960-an, sangat sarat dengan aspek itu. Kesimpulan penulis, antara ide atau gagasan untuk suatu perubahan dengan suatu proses politik memerlukan kepiawaian manajemen konflik yang luar biasa. Pelaku utama di waktu itu tidak lain adalah Bung Karno dan Pak Harto sendiri. Seandainya kedua tokoh itu tidak memiliki kepiawaian manajemen konflik yang luar biasa, tidak mustahil bangsa ini akan terjerumus pada perang saudara.
Karena itu, sebagai organisasi anak muda/mahasiswa, penulis sangat kagum dengan para senior HMI, yang menggariskan prinsip non-praktis politik bagi HMI. Dinamika dan idealisme anak muda terkadang tidak dapat terakomodir oleh proses politik yang sering melelahkan. Keterlibatan dalam politik, dengan demikian memerlukan kesabaran dan kemampuan menahan diri yang terkadang sangat besar, yang sering tidak sesuai dengan dinamika dan idealisme yang bergerak cepat yang dimiliki oleh setiap anak muda.
Ilustrasi seperti itu, barangkali perlu kita segarkan, untuk menyongsong peralihan kepemimpinan nasional yang kedua nanti. Insya Allah