Pelantikan

Pelantikan
Serah Terima Jabatan Ketua Umum HMI Cabang Pandeglang

Minggu, 02 Mei 2010

HMI DAN TRANSISI KEPEMIMPINAN

DALAM sejarah Indonesia, peralihan kepemimpinan nasional baru dialami sekali, yaitu dari kepemimpinan Bung Karno ke Pak Harto. Proses itu terjadi pada dasawarsa 1960-an dan secara tuntas terjadi pada tahun 1967, ketika MPRS menetapkan Pak Harto sebagai Pejabat Presiden. Pada waktu itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi mahasiswa, telah pula ikut dalam proses peralihan kepemimpinan nasional tersebut. Meski mungkin peranan itu dianggap kecil, namun pengalaman itu barangkali perlu kita kenang kembali. Manfaatnya banyak, tidak saja bagi HMI, tetapi mungkin juga bagi seluruh bangsa Indonesia, yang suatu saat juga akan menghadapi peralihan kepemimpinan nasional yang kedua. Bagaimana proses itu berjalan, agar tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kepentingan nasional kita sebagai
satu bangsa? Dualisme kepemimpinan nasional Pada masa itu Presiden Soekarno telah memperoleh mandat sebagai Presiden Seumur Hidup dari MPRS. Beliau juga memperoleh predikat Pemimpin Besar Revolusi dan sebagai Presiden juga menjadi Panglima Tertinggi ABRI. Baik secara konstitusional maupun realita politik, kekuasaan Presiden Soekarno sangat besar. Beberapa organisasi kemasyarakatan, bahkan sempat memberikan predikat tambahan, dengan
menggunakan istilah "Agung". Meskipun demikian, pergulatan politik tidak berhenti. Agaknya semua kekuatan politik masih bermain sendiri-sendiri sesuai dengan tujuan politiknya. Mereka masih sangat memperhitungkan fakta Bung Karno sebagai penentu perjalanan politik bangsa. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu kekuatan politik yang pandai memanfaatkan
keadaan saat itu. Dengan manuver-manuver politiknya, PKI berhasil menguasai dan mengarahkan situasi sejalan dengan tujuan politiknya.
Secara nasional, konsep Nasakom (Nasionalisme - Agama - Komunis), menjadi platform resmi yang menetapkan struktur politik. Representasi politik harus selalu memperhatikan unsur Nasakom, termasuk pada pimpinan Front Nasional dan pimpinan lembaga Legistatif. Di luar
lembaga Eksekutif (Kabinet), praktis konsep Nasakom telah berjalan. Sedangkan di lembaga eksekutif, meskipun telah ada beberapa menteri dari PKI, namun posisi-posisi penting belum berhasil direbut oleh PKI. Namun dengan platform resmi Nasakom itu PKI memperoleh peluang
berkembang di seluruh Indonesia, sungguhpun di berbagai daerah, misalnya di Aceh, potensi kaum Komunis sangat kecil. Sesungguhnya secara konsepsional maupun politis, PKI juga menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan manuver-manuvernya. Di kalangan militer, khususnya di lingkungan Angkatan Darat (AD), konsep Nasakom lebih sering disuarakan sebagai Nasasos (Nasionalis - Agama - Sosialis). Secara sadar kaum militer sendiri, sejak akhir dasawarsa 50-an, juga telah melakukan upaya untuk mengimbangi kaum Komunis. Dibentuklah berbagai Badan Kerja Sama (BKS) antara kaum militer dan organisasi nonpolitik, seperti misalnya BKS Pemuda-Militer, BKS Buruh-Militer dan lain-lainnya. Pembentukan BKS-BKS itu sedikit banyak merupakan manifestasi kekhawatiran kaum militer pada kecenderungan
politik yang terjadi.
Para tokoh militer secara langsung juga telah menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai peranan kaum Komunis pada Bung Karno. Waktu menjadi Panglima Kodam Diponegoro, Pak Harto, misalnya pernah menyampaikan kekhawatiran itu pada Bung Karno. Demikian juga gagasan pembentukan Angkatan Kelima - sebuah Angkatan (militer) yang terdiri
dari para sukarelawan/ organisasi kemasyarakatan - sampai saatnya PKI dibubarkan, gagal dilaksanakan. Demikian juga tuntutan PKI terhadap pembubaran HMI, ternyata juga tidak berhasil. Pada tanggal 29 September 1965, satu hari sebelum G30S/PKI, di forum Kongres CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, organisasi mahasiswa di bawah PKI), Ketua CC PKI DN Aidit mendesak Bung Karno untuk membubarkan HMI. Tetapi, baik Wakil Perdana
Menteri Leimena maupun Bung Karno tidak bergeming menghadapi tuntutan DN Aidit dan CGMI. Bung Karno, bahkan mengatakan, bahwa CGMI pun akan dibubarkan, seandainya CGMI juga kontrarevolusi.
Suasana politik seperti itu, sesungguhnya menunjukkan bahwa PKI belum sepenuhnya menguasai isu politik. Dan sebaliknya, Bung Karno-lah yang masih memegang kendali politik dan bahkan satu-satunya. Tentu, Bung Karno juga mempermainkan kartu-kartu, bagaimana semua kekuatan politik yang ada dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik dan kepemimpinannya, sungguhpun oleh banyak kalangan dianggap sebagai permainan politik yang berbahaya. Dan ternyata, ketika G30S/PKI meletus, kekhawatiran itu mulai bersemi menjadi suatu kenyataan yang memang benar adanya. Adanya "Dualisme" kepemimpinan nasional, ternyata menjadi cikal bakal transisi kepemimpinan nasional. Dan dualisme itu terjadi semenjak
meletusnya G30S/PKI. Opini nasional terbelah menjadi dua kutub, antara tuntutan pembubaran PKI, sebagai kekuatan di belakang kudeta yang gagal itu, dengan kutub yang belum bersedia membubarkan PKI. Majoritas rakyat, ternyata berada di belakang tuntutan pembubaran PKI, sementara Bung Karno berada pada posisi untuk memenuhi tuntutan rakyat atau
tidak. Pak Harto, selaku tokoh senior AD, di mana 7 putra terbaik AD menjadi korban G30S/PKI, dapat dipastikan berdiri pada tuntutan rakyat untuk membubarkan PKI, yang dengan alasan apa pun secara ideologis tidak mungkin menjadi kekuatan pendukung Pancasila. Sementara itu strategi pasca G30S/PKI Orde Baru- adalah kembali pada UUD 45/
Pancasila secara murni dan konsekuen.
Polarisasi opini politik di tingkat nasional itu, pada akhirnya mengarah pada tokoh yang berdiri pada opini yang bersangkutan. Secara cepat, Bung Karno menjadi sasaran tuntutan pembubaran PKI dan karena Bung Karno tetap bertahan pada sikapnya sendiri, yang masih tetap mempertahankan eksistensi PKI, maka (pada akhirnya) hampir seluruh kebijaksanaan Bung Karno menjadi sasaran kritik. Misalnya, sindiran Kabinet 100 menteri, predikat Durno bagi Waperdam Soebandrio, dan juga pembantu-pembantu presiden lainnya. Meskipun masih menggunakan sasaran antara, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa sesungguhnya sudah mulai
mengarah pada sasaran pada Bung Karno sendiri.
Peranan HMI
Peranan HMI dapat dikatakan sangat besar (atau terbesar?) dalam demonstrasi mahasiswa yang terjadi pasca-G30S/PKI. Hal ini disebabkan, karena HMI memegang seluruh pimpinan Dewan Mahasiswa di hampir seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Semua itu, sebagai akibat titik balik G30S/PKI, di mana HMI menjadi sasaran politik CGMI/PKI.
Pada bulan Desember 1965 di Pasarminggu (Jakarta Selatan), PB HMI menyelenggarakan sidang Pleno, yang dihadiri oleh anggota pleno PB HMI dan juga oleh Ketua-ketua Badan Koordinasi HMI dari seluruh Indonesia. Salah satu materi yang dibicarakan adalah suasana politik saat itu.
Meski HMI adalah organisasi mahasiswa yang tidak terjun dalam politik praktis, namun suasana politik waktu itu memang tidak memungkinkan ia melepaskan diri dari masalah politik. Tekanan yang diutamakan adalah bagaimana mempertahankan peranan politik HMI dalam mengupayakan tata nilai dan aspek kebijaksanaan politik tanpa memasuki lembaga-lembaga formal politik. Esensi sebagai kekuatan moral, masih merupakan pegangan yang utama.
Sebagai pendukung tuntutan pembubaran PKI, HMI tentu kecewa terhadap kebijaksanaan Bung Karno yang belum bersedia membubarkan PKI. Sementara gerakan itu tidak mungkin mundur, akankah "sasaran tembak" sudah saatnya diarahkan ke Bung Karno? PB HMI, alhamdulillah, mampu membicarakan masalah yang sangat pelik dan mungkin berbahaya itu dengan terbuka dan intens. Langkah positif dan negatif itu dipertimbangkan secara mendalam, tidak saja bagi kepentingan HMI, tetapi juga bagi kepentingan nasional di saat itu. Ada kesadaran bahwa keputusan apa pun yang akan diambil HMI (saat itu) akan berdampak
besar. Dan rapat pleno akhirnya mengambil keputusan, bahwa sasaran tembak HMI masih belum pada Bung Karno.
Sementara itu, dapat dipahami, kalau tuntutan terhadap pembubaran PKI semakin gencar dan bahkan meluas. Tritura (tri tuntutan rakyat), yaitu "Bubarkan PKI, Turunkan Harga, dan Bubarkan Kabinet 100 Menteri", yang lahir pada bulan Januari 1966, pada dasarnya sudah merupakan isyarat ketidakpercayaan rakyat pada kebijakan Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris/Presiden RI Bung Karno. Pada akhirnya Bung Karno memang bersedia "mundur" dengan mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang terkenal itu. Dan Pak Harto kemudian membubarkan PKI serta Kabinet 100 Menteri.
Pada bulan Juni - Juli 1966, MPRS menyelenggarakan sidang. Jenderal Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS yang baru. Dan di sinilah, untuk pertama kali, kebijaksanaan Presiden/ PBR Bung Karno dipersoalkan di lembaga konstitusional itu. Adalah Raden Panji Suroso, anggota tertua MPRS, yang dalam tanggapannya terhadap pertanggungjawaban Presiden menyatakan ketidakpuasannya. Keputusan-keputusan yang kemudian diambil, ternyata merupakan koreksi terhadap perjalanan bangsa selama ini, antara lain pencabutan gelar Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup, meskipun masih disertai permintaan maaf (TAP No
XVIII/MPRS/1966). Namun sidang MPRS itu belum berhasil mengambil keputusan untuk memilih Presiden baru, sungguhpun sudah mengeluarkan TAP No XIII/ MPRS/1966 yang menugasi pemegang SP 11 Maret untuk bersama-sama Presiden membentuk Kabinet baru. Adapun SP 11 Maret itu sediri, oleh MPRS telah dikukuhkan dengan TAP IX/MPRS/1966.
Tanpa diduga, PB HMI menerima undangan untuk "hearing" kabinet, yang diselenggarakan di Mabes AD pada 14 Juli 1966. Sudah tentu PB HMI segera menyelenggarakan rapat khusus untuk menentukan apa yang akan diusulkan oleh HMI dalam hearing kabinet itu. Salah satu pertimbangan yang sangat penting, yang memperoleh pembahasan yang mendalam adalah kenyataan adanya dualisme kepemimpinan nasional, sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan dualisme berarti adanya kenyataan tidak satunya kebijaksanaan di tingkat kepemimpinan nasional yang ternyata masih saja terjadi, sungguhpun PKI telah dibubarkan. Dapatkah pembentukan kabinet baru secara tuntas akan mengakhiri dualisme itu? Bagaimana caranya?
Berbagai alternatif menjadi pilihannya. Mungkinkah Pak Harto langsung menggantikan Bung Karno selaku Presiden RI? Apabila demikian, kenapa MPRS tidak mengambil keputusan seperti itu? Apa dampaknya? Sementara secara konstitusional, pembentukan kabinet itu dilaksanakan bersama-sama antara pemegang SP 11 Maret dengan Presiden RI (Bung Karno?)
Pengurus Besar HMI kemudian mengambil keputusan dengan formula yang unik, yang mungkin kompromistis, tanpa mengurangi esensi menghilangkan adanya dualism kepemimpinan nasional, di samping konstitusional dan mungkin juga Indonesiawi (?). Usulan PB HMI adalah agar Jenderal Soeharto bersedia memimpin Kabinet tanpa mempersoalkan keberadaan Presiden Soekarno. Bentuknya terserah pada pemegang SP 11 Maret selaku formatur kabinet. Usulan itulah yang kemudian dibawa pada hearing Kabinet tersebut.
Demikianlah, ketika bersama Sdr Mar'ie Muhammad dan Sdr Yusuf Syakir kami menyampaikan usulan tersebut pada Pak Harto selaku formatur kabinet, seingat saya, beliau tidak banyak memberi komentar, selain terima kasih dengan senyum beliau yang khas. Tetapi, keesokan harinya, saya terkejut, ketika materi hearing kabinet itu menjadi berita utama koran Berita Yudha, yang dikenal sebagai korannya Angkatan Darat. Dan PB HMI bersyukur, bahwa setelah kabinet diumumkan, kabinet itu dipimpin oleh sebuah Presidium Kabinet, dengan Pak Harto sebagai Ketua Presidium Kabinet dan Mas Sanusi, sebagai seorang alumni HMI yang kami usulkan pada urutan pertama untuk memperoleh pertimbangan duduk di Kabinet, memperoleh kepercayaan sebagai Menteri Perindustrian Tekstil. Sejak itu, kepemimpinan nasional sesungguhnya sudah bergeser ke Pak Harto, sampai pada saatnya tuntas pada sidang umum istimewa MPRS awal 1967, ketika Pak Harto diangkat sebagai Pejabat Presiden.
Kesimpulan
Peralihan atau pergantian kepemimpinan nasional sesungguhnya adalah suatu peristiwa yang biasa. Semestinya, meskipun peristiwa itu tetap penting bagi suatu bangsa, pada suatu saat harus dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Isu politik yang akan menyertai peristiwa itu tidak boleh terasa sebagai sesuatu yang menegangkan, sehingga menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan. Apalagi dapat menimbulkan huru-hara ataupun perpecahan bangsa.
Pergantian kepemimpinan nasional di tahun 1960-an, betapapun berjalan alot dan menegangkan, telah berlangsung dengan aman. Sebabnya, karena strategi konstitusional yang dianut Orde Baru.
HMI, sebagai organisasi mahasiswa, sudah tentu penuh dengan dinamika dan idealisme anak muda. Dinamika dan idealisme itu, secara alami akan selalu mendorong adanya suatu perubahan ke arah hal-hal yang lebih baik. Namun, cepatnya perubahan yang dikehendaki oleh anak-anak muda, sering tidak sejalan dengan proses politik yang harus dilalui. Pada keadaan seperti ini, tidak mustahil akan terjadi benturan fisik yang sering meminta korban. Besar kecilnya korban, sudah tentu tergantung dari kepiawaian manajemen konflik yang dimiliki para pelakunya.
Peralihan kepemimpinan nasional di tahun 1960-an, sangat sarat dengan aspek itu. Kesimpulan penulis, antara ide atau gagasan untuk suatu perubahan dengan suatu proses politik memerlukan kepiawaian manajemen konflik yang luar biasa. Pelaku utama di waktu itu tidak lain adalah Bung Karno dan Pak Harto sendiri. Seandainya kedua tokoh itu tidak memiliki kepiawaian manajemen konflik yang luar biasa, tidak mustahil bangsa ini akan terjerumus pada perang saudara.
Karena itu, sebagai organisasi anak muda/mahasiswa, penulis sangat kagum dengan para senior HMI, yang menggariskan prinsip non-praktis politik bagi HMI. Dinamika dan idealisme anak muda terkadang tidak dapat terakomodir oleh proses politik yang sering melelahkan. Keterlibatan dalam politik, dengan demikian memerlukan kesabaran dan kemampuan menahan diri yang terkadang sangat besar, yang sering tidak sesuai dengan dinamika dan idealisme yang bergerak cepat yang dimiliki oleh setiap anak muda.
Ilustrasi seperti itu, barangkali perlu kita segarkan, untuk menyongsong peralihan kepemimpinan nasional yang kedua nanti. Insya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar